Selamat Datang di Rumah Flores

Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pelestarian Budaya Arsitektur Flores.

Pembangunan Rumah Adat di Wolomari

Foto bersama penduduk lokal.

Kerangka Rumah Adat di Wolomari

Ini adalah kerangka rumah adat yang dibangun di Wolomari, Ndori.

Tarian Daerah

Ibu Tirto turut menari bersama penduduk lokal.

Ibu Tirto

Ibu Tirto (kedua dari kanan) pose bersama penduduk lokal.

Senin, Juni 15, 2015

UNESCO Award of Excellence Rumah Adat di Desa Wae Rebo Flores

Mbaru Niang, rumah kerucut suku Manggarai yang berada di desa Wae Rebo, Flores, berhasil mendapatkan penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012 yang diumumkan di Bangkok, 27 Agustus 2012. 


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVtGI1HP0O6_qn3hdzy8u0trZWBnDYHj7FypzQsrcWK5aQUXKDyq16pcGYwxVacVMm17bxJIlanATbE059ofrbhZ5v06T_veLGPlmZbnLpWEPP_7kzkACjMidvk5gPriiCQ9AHzOpURdE/s1600/rumah+niang+wae+rebo1.jpg

Mbaru Niang mendapatkan Award of Excellence, yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang pelestarian warisan budaya. Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun.

Rumah tradisional ini berhasil mengalahkan 42 kandidat lainnya dari 11 negara di Asia Pasifik, antara lain sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina, dan Masjid Khilingrong di Pakistan.
Keberhasilan ini adalah lompatan yang mengejutkan, mengingat Wae Rebo belum banyak dibicarakan hingga empat tahun yang lalu. Wae Rebo bisa dibilang sebagai spesies langka. Tidak banyak tersisa rumah kerucut di Flores, yang adalah rumah adat suku Manggarai. Tetapi ia juga bukan sekedar bentuk. Penduduk setempat masih mempertahankan keutuhan tradisi setempat, yang kemudian membuat bentuk menjadi berarti.

Desa ini juga terpencil — orang harus menempuh perjalanan darat 5 jam dari Labuan Bajo ke Desa Denge (tempat terakhir yang bisa diakses kendaraan) kemudian menempuh 5 jam lagi berjalan kaki.
Adalah Yori Antar, arsitek dari Jakarta, dan kawan-kawan pertama kali mengunjungi desa ini di tahun 2008, tanpa tahu persis di mana desa ini berada. Bermodalkan gambar di kartu pos, mereka menanyakan penduduk sekitar untuk mengantarkan mereka ke desa ini. Tidak banyak yang mengetahui desa ini sebelumnya, kecuali para wisatawan asing.
Ketika mereka sampai di sana, penduduk setempat kaget. Alexander Ngandus, warga lokal desa ini berkata, “Bagi masyarakat Wae Rebo, kehadiran mereka seperti bagian dari kunjungan Presiden Republik Indonesia, karena baru sekali ini wisatawan Indonesia masuk ke desa ini,” kata Alex saat saya temui di Wae Rebo tahun 2010. Yori Antar dkk ternyata wisatawan pertama asal Indonesia.

Di Wae Rebo terdapat empat Mbaru Niang dengan ukuran

serupa, kecuali satu rumah yang berperan sebagai rumah utama tempat segala pertemuan adat dilakukan dengan ukuran lebih besar. Setiap rumahnya dihuni enam sampai delapan keluarga. Dua rumah berada dalam kondisi yang rentan karena telah berumur puluhan tahun. Sementara dalam sejarah mereka yang dituturkan mulut ke mulut, pernah terdapat tujuh rumah kerucut yang posisinya tersusun membentuk setengah lingkaran.

Melihat orisinalitas dan kekayaan budaya dari Wae Rebo, Yori Antar lalu menginisiasi konservasi kawasan ini lewat Rumah Asuh, gerakan yang ia gagas untuk melindungi kekayaan warisan budaya Indonesia, terutama dalam bidang arsitektur. Ia menyebutkan, “Kebudayaan yang hidup lebih penting ketimbang monumen yang mati.”

Gagasan tersebut disambut baik oleh penduduk lokal. Mereka lalu membuat tim yang melibatkan masyarakat setempat tanpa campur tangan pihak luar. Rumah Asuh sebagai pelopor proyek, mengawasi jalannya proses konservasi dan membantu pendanaan. Tahun 2010, dua rumah kerucut yang sudah berumur tadi dibongkar dan dibangun kembali. Tahun 2011, tiga rumah kerucut dibangun, sehingga desa tersebut kembali punya tujuh rumah kerucut. Semua itu dikerjakan dengan tenaga masyarakat setempat.

Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.”

Proyek ini, lanjutnya, menghadirkan penyaluran pengetahuan atas bentuk arsitektur dan teknik membangun dari generasi tua ke generasi yang lebih muda, serta membangun lingkungan terbangun yang berkelanjutan, dengan mengedepankan semangat dan kebanggaan komunitas. 


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjv8tLjCvBV7cAKdr1oHbAAvMz4ih9iWTjanEAHT1p33wmjMbUVlHb8b13ZmZD_N1i-tIVBEWqoRQrEJ43xq5eUyzaFOK1FioUr-nrb1zBAbBdjM0xeCDp1M2U1FHRw0fangAh18lvK69hd/s1600/Wae+Rebo1.jpg

Mohe Wae Rebo. Selamat atas keberhasilannya.

Komentar IPAI : Sebuah sikap yang harus kita tiru, walau kita cuma bisanya sederhana aja tinggal memotret budaya daerah kita masing masing, apa aja, trus kita abadikan di blog, atau catatan lain di internet beserta keterangannya. Itu sudah merupakan tindakan dokumentasi untuk anak cucu kita yang akan datang.


Artikel: Robin Hartanto.
Sumber Berita: Facebook 

Mbaru Niang, Salah Satu Warisan Arsitektur Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam warisan budaya. Lihat saja berbagai macam rumah adat yang dibangun di pelosok negeri.

Salah satunya adalah rumah tradisional yang berada di pulau terpencil di Flores, bernama Mbaru Niang. Mbaru Niang merupakan gubuk berbentuk kerucut yang menjadi salah satu situs warisan budaya yang paling penting di Indonesia bahkan di dunia. 

Untuk itu diperlukan suatu tindakan pelestarian bangunan yang dibuktikan pada 2012 melalui penghargaan unggulan 2012 UNESCO Asia Pacific Awards untuk Pelestarian Warisan Budaya. Penghargaan ini sebagai upaya pelestarian alam dengan adanya kategori Aga Khan Award bagi Arsitektur.

Dilansir Inhabitat, Jumat (3/4/2013), pondok Mbaru Niang merupakan simbol dari rumah tradisional masyarakat dan keutuhan dalam keluarga. Namun, sayangnya tidak banyak yang mengetahui hal tersebut. 



Mbaru Niang, Salah Satu Warisan Arsitektur Indonesia

Sekelompok arsitek muda Indonesia pernah melakukan perjalanan di kawasan tersebut dan hanya tersisa empat rumah tradisional. Dari keempat rumah tersebut, dua rumah memerlukan renovasi. Dari pengalaman yang dialami tim arsitek yang mengunjungi daerah tersebut membuat mereka memutuskan untuk menghidupkan kembali bangunan tradisional dengan bantuan masyarakat. Dari proses ini rumah asli Mbaru Niang dapat dibangun kembali.

Rumah tradisional ini terletak di Desa Wae Rebo yang merupakan desa terpencil dikelilingi hutan lebat dan pegunungan. Renovasi rumah tradisional ini, tim arsitek bekerja sama dengan penduduk lokal dan mereka juga mendokumentasikan kegiatan pelestarian tersebut.

Pondok Mbaru Niang merupakan rumah berbentuk kerucut yang memiliki lima tingkatan terbuat dari kayu dan bambu. Lantai dasar berfungsi sebagai tempat tinggal bagi keluarga.

Pada lantai kedua digunakan untuk menyimpan makanan, untuk lantai ketiga digunakan menyimpan biji-bijian, dan lantai keempat sebagai penyimpanan makanan. Sedangkan pada lantai teratas atau lantai kelima sebagai tempat berdoa atau persembahan rohani. Untuk eksteriornya, menggunakan material yang berasal dari alam sekitar. 


(Jurnalis: Ria Hapsari Putri)
Sumber Berita: Oke Zone News

Sao Ria Ndori


Suasana pembangunan rumah adat di Ndori.

Kampung Adat Wolomari Ndori berada di Desa Woda, Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Seperti kampung adat lainnya, memiliki Rumah Tradisional Sao Ria, Tubu Musu dan Sao Bhaku (rumah kubur). Terletak di atas ketinggian Wolomari, memiliki potensi yang baik untuk ke depannya.


Sejarah Singkat Kampung Wolomari, Desa Wonda, Kecamatan Ndori
Sekitar berusia 3 bulan Mamo Sanggu, ibunya dibunuh oleh Wonda. Mamo Sanggu kemudian dibesarkan oleh Ine dan Ema yaitu Paji no'o Ndondo. Ketika kira-kira berusia 12 tahun, Mamo Sanggu dan kakaknya Rowa Dua diajak oleh mosalaki untuk ikut berperang. Di saat itu juga Mamo Sanggu berhasil membunuh "Woda Wolo" orang dari Lise. Dengan keberanian dan keberhasilan Mamo Sanggu tersebut, maka Mosalaki Pu'u Wolosoko "Mbui Tani" menobatkan Mamo Sanggu dengan mengenakan pakaian kebesaran (Pakaian Ria Bewa) dengan istilah: "Pake Sare Hando Nago". Dengan demikian no'o Ema yaitu Paji Ndondo wua pati no'o nua tau nua wula, Sea pati no'o keka, tau keka leja, wira wiwi tau wiwi lowo, reda lema tau lema ela, leka Wolomari.


 Berkunjung Ke Desa Adat Wolomari

Pada hari Sabtu akhir pekan tanggal 16 Mei 2015 bersama tim pecinta Arsitektur Tradisional Flores mengunjungi desa adat Wolomari Ndori atas undangan Bapak Dion sebagai koordinator acara Pembangunan Rumah adat Sao Wolomari Ndori. Rumah Tradisonal ini sudah punah sejak 7 tahun lalu akibat angin kencang pada saat itu. Setibanya di kampung adat Wolomari kami menjumpai masyarakat adat sedang berkumpul untuk melakukan upcara Teka Lasu untuk proses pembangunan rumah tradisonal mereka. Sudah 2 bulan mereka menyiapkan bahan bahan bangunan untuk membangun rumah tradisional mereka.



Swadaya Masyarakat Adat Wolomari Membangun Rumah Tradisonal Sao RIa

Masyarakat adat Wolomari melakukan swadaya sendiri untuk membangun rumah tradisonal mereka dengan mengumpulkan dana untuk proses pemotongan kayu di hutan adat. Total anggaran yang sudah dikeluarkan adalah Rp. 82.000.000,- dan melalui lembaga kami, Yayasan Tirto Utomo - Jakarta, memberikan bantuan demi merampungkan pengerjaan rumah adat ini.